Sabtu, 26 April 2014

Filled Under:

Kisah Ashabul Sabt









Allah SWT memberikan hukuman kepada kaum Yahudi yang enggan melaksanakan ibadah pada hari Sabtu.
Alkisah, tinggal sekelompok warga Yahudi di sebuah desa dekat Teluk Aqabah. Desa tersebut bernama Aylah atau Iylat atau al-’Aqabah.
Mereka terbiasa mencari dan menangkap ikan di pantai dekat Laut Merah tersebut. Di tepi pantai Aqabah, terdapat dua berhala bernama Luqaim dan Luqmanah.
Acap kali hari Sabtu tiba, penduduk desa berburu ikan sembari mendekati dua patung tak bernyawa tersebut. Hingga suatu hari, Allah pun menurunkan larangan bagi penduduk desa untuk menangkap ikan di hari Sabtu.
Konon, Allah pernah memerintahkan mereka mencurahkan pikiran dan waktu pada hari Jumat. Namun, mereka mengatakan lebih menyukai hari Sabtu dengan beralasan Sabtu merupakan hari di mana Allah selesai menciptakan segala sesuatu.
“Kami akan berusaha untuk hari Sabtu karena Allah selesai mencipta pada hari Sabtu,” ujar Yahudi menawar. Akhirnya, ditetapkanlah bagi mereka hari Sabtu sebagai hari beribadah dan diharamkan melakukan segala macam usaha pada hari tersebut.
Menguji ketakwaan para penduduk desa, Allah pun memerintahkan ikan-ikan untuk berkumpul pada hari Sabtu dan menghilang di lima hari lain selain Sabtu. Alhasil, beragam jenis ikan lezat yang menggiurkan berdatangan ke tepi pantai.
Tak hanya itu, ikan-ikan pun berkumpul di sekitar Luqaim dan Luqmanah. Namun, pada hari Ahad hingga Kamis, ikan-ikan menjauh dari tepi laut. Untuk mendapatkan seekor saja, perlu usaha keras dan susah payah.
Menghadapi godaan tersebut, beberapa penduduk desa menahan diri dan memilih menjalankan perintah Allah.
Sementara, sebagian besar lain tergoda bisikan perutnya dan berpikir bagaimana cara mendapatkan ikan di hari terlarang. Ada pula beberapa warga lain hanya berdiam diri dalam kegalauan tak melakukan apa pun
Godaan para setan pun berhasil menguasai akal pikiran para Yahudi. Sekelompok warga pun menemukan cara menyiasati perintah Allah.
Mereka berencana menggali telaga atau kolam di tepi laut. “Sesungguhnya kita hanya dilarang untuk menangkap ikan pada hari Sabtu,” ujar seorang warga.
“Karena itu, marilah kita mebuat kolam perangkap agar ikan-ikan itu terperangkap di dalamnya pada hari Sabtu, lalu pada hari berikutnya kita dapat mengambil dan memakannya.”
Sepakat, mereka pun berbondong-bondong menuju tepi laut pada Jumat sore, kemudian menggali kolam perangkap ikan. Pada hari Sabtu, mereka beribadah dan tak mengail ikan ke laut.
Namun, saat pasang, air laut akan menggenangi kolam secara sendirinya. Ikan-ikan pun ikut terperangkap dalam kolam tersebut. Kemudian saat air laut surut, ikan tetap berada di kolam tersebut. Keesokan hari, pada hari Ahad, para Yahudi pun mendapati kolam mereka berisi penuh ikan.
“Kita mematuhi perintah Ilahi karena kita tidak menangkapnya pada hari Sabtu, tetapi kita menangkapnya pada hari Ahad,” teriak seorang warga girang.
Melihat tingkah licik para pembangkang, beberapa warga yang terdiri dari ulama Yahudi dan orang saleh pun geram. Mereka pun menasihati para pelanggar hari Sabtu untuk bertobat dan kembali mematuhi perintah Allah.
Namun, bukan hanya ditentang oleh para pelanggar, beberapa warga yang sebelumya hanya berdiam diri pun ikut vokal menentang para Mukmin saleh. Mereka tak ikut membuat perangkap kolam, namun mereka tak senang para penasihat memberi peringatan bagi para pelanggar.
Menegaskan sikap penolakan, para ulama dan orang saleh tersebut pun bermaksud meninggalkan desa. Nasihat mereka tak lagi didengar apalagi berguna bagi para pembangkang perintah Allah.
“Kami tidak akan bermalam bersama kalian di desa, tetapi keluar meninggalkan desa dan bermalam di pinggiran desa,” ujar seorang ulama. Malam pun dilalui para hamba Allah dengan menginap di luar desa.
Hingga keesokan hari, mereka merasa janggal dengan suasana sepi desa. Tak ada keramaian ataupun aktivitas warga. Sejak pagi hari, tak satu pun warga yang keluar rumah. Mereka pun mengutus salah seorang pria untuk mengetahui apa yang tengah terjadi
Desa pesisir tersebut menjelma menjadi desa para monyet.
Memasuki desa, pria utusan tersebut tercengang dengan kondisi desa yang sunyi senyap layaknya wilayah tak berpenghuni.
Ia pun mengetuk pintu salah seorang warga, tak ada jawaban. Ia kemudian mengintip jendela rumah dan melihat penghuninya bukan manusia melainkan monyet-monyet.
Tak percaya dengan apa yang dilihat, pria itu pun menuju rumah lain. Dua, tiga, 10 rumah, namun hasilnya sama. Desa pesisir tersebut menjelma menjadi desa para monyet.
Kisah Ashabul Sabtu, atau kisah para pelanggar hari Sabtu tersebut pun dikisahkan dalam Alquran Surah al-A’raf ayat 163: “Dan, tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar mereka) terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”
Kemudian azab kepada para penduduk Yahudi tersebut pun disebut dalam ayat berikutnya, yakni ayat 164 hingga 166.
“Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum Yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazabkan mereka dengan azab yang amat berat?’ Orang-orang (yang memberi nasihat) itu menjawab, ‘(Nasihat itu ialah) untuk melepaskan diri dari bersalah kepada Tuhan kamu dan supaya mereka bertakwa.’”
“Maka, ketika mereka melupakan (tidak menghiraukan) apa yang telah diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang daripada perbuatan jahat itu, dan Kami timpakan orang-orang yang zalim dengan azab siksa yang amat berat disebabkan mereka berlaku fasik (durhaka).”
“Maka setelah mereka berlaku sombong takbur (tidak mengindahkan) kepada apa yang telah dilarang mereka melakukannya, Kami katakan kepada mereka, ‘Jadilah kamu kera yang hina.’”

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Kisah Sejarah Islam.